Aku sedang bercermin, ketika sambil lalu ibu bertanya, " Kenapa seh de' mahasiswa makin beringas saja ?" aku abaikan pertanyaan itu, seolah tak peduli kusibukan diri pada tataan rambutku, padahal hati rusuh juga. Pertanyaannya memang wajar saja bila melihat perkembangan berita akhir-akhir ini , tentang bentrok mahasiswa dengan aparat kepolisian, dengan warga!! bahkan mungkin kata bentrok tak lagi mencukupi lantaran permusuhan tak sekedar terjadi di suatu lapangan aksi tapi sudah menjamur dihati, dibawa kemana-mana hingga bila ingin melampiaskan birahi benci boleh jadi saling mendatangi. Lantas mengapa pertanyaan ini ditanyakan padaku? karena aku mahasiswa? mungkin, tapi kan abangku yang sedang menonton telivisi saat itu juga seorang mahasiswa? dua tahun lebih lama bersama almamternya? ah rupanya ibu tahu, almamaterku lama tak bergantung manis di lemari kayu sebagaimana punya abangku. Yang ibuku tak tahu adalah, bahwa alamamater itu sekedar dipinjam tanpa dipulangkan oleh seorang rekan. sudah biasa, urusan kecil yang tak dipusingkan toh yang dipinjamkan pasti ikhlas, sahabat baik bukan? tapi mudah-mudahan korupsi di negeri ini tidak dengan logika yang sama ia berdiri. Keyakinan aneh bahwa rakyat yang murah hati akan mengikhlaskan hak mereka dinikmati sebagian, besar!! bukan pada keharusannya tapi entah untuk apa. Jadi kepada peminjam tanpa pemulangan, catat ini, bahwa temanmu lebih murah hati dari pada rakyat kita. catat! mekipun kita bukan orang yang menyetuji bila seorang penguasa menuntut kemurahan dan kelapangan hati rakyat atas kekejian yang mereka lakoni?
Tidak seperti yang ibuku duga, kesibukan jalanan mahasiswa seperti demonstrasi, tak lagi kulakoni, setidaknya tahun-tahun belakangan ini. Anaknya terlalu dungu untuk mengerti soal politik, tak cukup waktu menyelaminya agar mantap menetukan sikap, melakukan tindak! Sebaiknyalah mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat dan menentukan sikap adalah kalimat bijak yang selalu ku ingat. tapi bila tak mampu lekas dan mudah mengerti sebagaimana yang lain apa mau dikata? sedangkan urusan yang lain telah bosan terus menerus dizhalimi. Bukan! sungguh bukan tak peduli, hati resah juga sama seperti rekan-rekan lainnya. hanya saja bagi kedunguanku permasalahan yang sering kami geluti tampak rumit, kompleks dan tak terkira ujung soalnya, bikin putus asa saja! tak tahu benar salah yang ku lakukan jadinya. Aku tahu, ibu juga tak terlalu menuntut jawaban atas pertanyaanya. Sedang aku sendiri tak sampai hati menyulitkannya dengan berbagai kerumitan yang aku sendiri tak mengerti, cukup sudah bebannya yang suci atas rumah tangga dan penyakit yang ia derita. Jadi pertanyaan itu pun tak berujung jawab. Namun persoalan ini mengikutiku aktivitasku di hari itu.
Sebagian hatiku tidak terima sifat beringas yang di gunakan ibu memang, tapi sebagiannya lagi tak membuta mata dan menulikan telinga atas berita di telivisi dan surat kabar. Mungkin ibu benar, kita telah jadi beringas, mungkin... tapi soal mengapa, tak tahulah... yang jelas dengan kejadian ini kita menelan dua ketakutan besar sekaligus. yang pertama ketakutan akan anarkisme massal dan mewabah menjadi suatu budaya di alam demokrasi indonesia. Kedua adalah ketakutan akan kerasnya tindakan yang diambil untuk menghadangnya justru berbau keringat seorang diktator. sungguh, keduanya menaktutkan. sangat amat pahit. Sampai pada sore hari, dalam kebiasaanku membaca ditentang langit barat, kutemui berbaris kalimat berikut : " satu hal jangan kita lupakan, bahwa kemampuan mengendalikan diri adalah syarat mutlak dari kemerdekaan yang inhaerent dengan atau pembawaan dari demokrasi. Memang, demokrasi yang dipergunakan oleh orang-orang yang kurang mampu mengendalikan diri dengan sendirinya akan meluncur kepada anarki, dan anarki akan disambut oleh diktator, diktator yang tidak kenal kepada kendali sama sekali..." Setelah menyampaikan tabiat ini, tulisan itu seolah menyeru " Dalam rangka inilah makannya senantiasa menyerukan, bahwa hidup berpolitik menyusun masyarakat dan negara, sama sekali tidaklah boleh dilepaskan daripada ketentuan-ketentuan susila dan moral yang tidak boleh sekali-kali kita perjual belikan atau permainkan. Yakni: bila disimpulkan berpolitik itu tdaklah boleh sama sekali dilepaskan dari ajaran agama yang menjadi sumber dari nilai-nilai hidup dan ukuran-ukuran moral itu."
Mulanya girang hati. karena menemukan tulisan yang berhubungan dan memberi penjelasan ini. Tapi apa efek dari pernyataan seperti dalam tulisan ini ? begitu kupikir .. Berapakah yang masih mau peduli segala urusan susila dan moral, juga agama! Dimanakah muda-mudi yang tidak menyengaja menyumpal lubang telinga ketika diperdengarkan kepadanya persoalan halal haram ? bukan malah menentang, menantang dengan cita rasa yang dangkal ! juga soal lidah yang bersiaga lincah ketika diperingatkan perkara bid'ah, demi meremehkannya. SEDIKIT! hanya segelintir. Secercah cahaya yang jangan sekali-kali padam, diharapkan! Semakin senja, ketika suara mengaji di masjid berhenti, memberi jeda, dan nafas muadzin bersiap meneriakan takbir, aku bangun bergegas sambil kutenggak habis kopi yang ternyata tinggal ampas. Senja itu, suara adzan kusahuti dengan suara batuk. lebih baik hidup dan mati dengan mengakui kebenaran ,sekalipun gagal memenuhi tuntutan-tuntutannya, ketimbang hidup atau mati tanpa mengeluarkan pendapat tentangnya atau menolaknya.
Didadikjaya ahad, 7 maret 2010