Bagai kuas bagi lukisan , usia memupuk pengetahuan
Kian memulas kian jelas, sebuah gambar dunia diatas kanvas
Hitam putih berkesan dalam, warna-warni tak membosankan
Biar tinta habis selautan, walaupun kertas sudah sedaratan
Siapa berani berkata, telah puas pelukis berkarya ?
( Dida Dikjaya , 2012)

MENGENAI DUNIA DIDA

Dunia Dida : Dunia dalam Batas Pandang Insan Pebelajar

Bagai kuas bagi lukisan , usia memupuk pengetahuan
Kian memulas kian jelas, sebuah gambar dunia diatas kanvas
Hitam putih berkesan dalam, warna-warni tak membosankan
Biar tinta habis selautan, walaupun kertas sudah sedaratan
Siapa berani berkata, telah puas pelukis berkarya ?
( Dida Dikjaya , 2012)

Kata ‘dunia’ banyak dirangkai ke dalam berbagai kalimat yang jamak dengan kehidupan kita. Di surat kabar kita membaca “bom nuklir merupakan ancaman bagi perdamaian dunia”.  Dari seorang dosen kita mendengar pernyataan, “perkembangan teknologi informasi berpengaruh besar terhadap praktik di dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini”. Seorang alim memberi sebuah nasihat, “merugilah orang yang hanya sibuk dengan urusan dunia padahal ia tak tahu kapan kematian mendatanginya”. Sementara sebuah Novel karya penulis asal Norwegia di beri judul ‘Dunia Sophie’. Contoh-contoh ini telah mendudukan ‘dunia‘ dengan makna yang tak sama dan memperjelas berbagai pengertian dunia yang beragam seperti : bumi dengan segala sesuatu yang terdapat diatasnya, alam kehidupan, semua manusia yang ada di muka bumi, lapangan kehidupan, segala yang bersifat kebendaan yang tidak kekal dan peringkat antarbangsa (seluruh jagat atau segenap manusia).

Dalam pengertian alam kehidupan seorang manusia, dunia menjadi begitu subjektif. Sebuah kalimat bijak bahkan menyatakan “dunia adalah cermin diri kita”. Seseorang mungkin memandang dunia sebagai suatu kekacauan, penuh kekejian dan kotor karena bertubi-tubi melihat dan mengalami hal buruk, sementara seorang yang lain justru mendudukannya sebagai sebuah anugerah keindahan yang sarat dengan hikmah. Mungkin dahulu orang-orang kebanyakan menganggap dunia beralas bumi yang datar sebagaimana lapangan bola serta beratapkan langit dengan gunung-gunung sebagai penyangga karena memang secara empiris mereka tidak dapat melihat lengkungan apapun yang memperlihatkan bentuk bumi yang sesungguhnya, sementara sebagian ilmuwan besusah payah menjelaskan secara logis kesalahan tersebut. Kini dengan bentuan teknologi modern fakta bahwa dunia bukannya datar tidak hanya dibuktikan secara logis tapi juga empiris. Dengan demikian, orang-orang dahulu kebanyakan, sebagian ilmuwan, dan manusia kini, merasakan hal yang berbeda dari apa yang melingkungi hidup mereka yang disebut sebagai sebuah dunia. Perbedaan seperti ini dimungkinkan oleh perbedaan individual, terutama dalam hal pengalaman dan pengetahuan.

Manusia dikaruniai sejumlah sarana yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang ia butuhkan. Pancaindra, akal dan intuisi adalah tiga sarana ini yang sering disebut dalam kajian filsafat terhadap pengetahuan. Ketiganya memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan baru hampir setiap saat. Tak peduli pengetahuan tersebut merupakan hal penting seperti berita bencana alam, kenaikan harga bahan makanan, jatuhnya seorang penguasa, pernikahan seorang sahabat maupun soal sepele seperti seekor kucing buang kotoran atau disiksa sampai mati oleh anak tetangga yang keterlaluan nakalnya. Apa yang ia lihat, dengar, cium, kecap, rasakan dan pikirkan dalam pengalaman keseharian seperti itu, baik disadari atau tidak, telah memberinya sejumlah pengetahuan yang membangun pemahamanya tentang dunia dimana ia hidup. Mungkin orang tersebut kemudian menjadi sadar bahwa dunia yang ditinggalinya begitu sarat oleh penderitaan karena bencana atau kemiskinan, bahwa sebuah pernikahan begitu mengharukan dan bahwa kotoran seekor kucing bewarna kuning keemasan, lembek dan memiliki bau yang menyebalkan sehingga menyebabkan ia harus berhati-hati. Dengan demikian, setepat dan sejauh apa pemahaman manusia tentang dunia yang sesungguhnya menjadi sangat bergantung terhadap ketajaman indra, akal dan hatinya.

Sebagai seorang manusia, kita menerima takdir untuk tidak memperoleh pengetahuan yang ada diluar jangkauan kemampuan kita melalui keterbatasan atau cacat pada sarana yang kita miliki seolah ketajaman yang diberikan bukanlah untuk mengetahui segalanya namun sekedar memahami dan menjalankan peran tertentu saja. Keterbatasan dan cacat dalam sarana pengetahuan ini berbeda pada setiap individu, bisa dalam jenis maupun kadarnya. Seseorang mungkin memilki pengelihatan yang rabun, buta warna atau tuli sementara yang lain  mungkin memliki keterbelakang mental atau kerusakan otak, atau sekedar tak memiliki kesempatan untuk berbagai pengalaman. Perbedaan ini seolah menyebabkan bangunan dunia yang berbeda pula bagi tiap individu.

Hal yang paling mendasar  yang membatasi kita dari menjangkau keseluruhan kebenaran dunia ini ialah ketidakmampuan kita untuk mengalami setiap ruang dan waktu yang telah diciptakan. Ini berlaku terhadap setiap individu. Sebagai akibatnya, pengetahuan kita menjadi terbatas, meragukan dan tidak lengkap, bahkan untuk satu masalah saja kita barangkali tidak mampu menjangkau semua fakta yang berhubungan dengan permasalahan tersebut bahkan hingga kita tutup usia sekalipun.  Batas dunia seseorang, dengan kata lain, adalah juga batas pengetahuan orang tersebut. Oleh karena itu, meskipun selamanya kita tidak akan mampu menjangkau keluasan dan kedalaman pemahaman tentang dunia yang sebenarnya, tapi batas dunia kita sendiri dapat terus berkembang seiring perkembangan pengetahuan kita yang dimungkinkan oleh sebuah usaha ini : belajar. Dalam dunia yang batasnya terus berkembang inilah kita hidup dan diuji dalam memahami serta memenuhi peran kita sebagai manusia.