![]() |
Add caption |
Bagai kuas bagi lukisan , usia memupuk pengetahuan
Kian memulas kian jelas, sebuah gambar dunia diatas kanvas
Hitam putih berkesan dalam, warna-warni tak membosankan
Biar tinta habis selautan, walaupun kertas sudah sedaratan
Siapa berani berkata, telah puas pelukis berkarya ?
( Dida Dikjaya , 2012)
Minggu, 23 Januari 2011
BUAH HATI KEPUNYAAN UMAT
Jangan kalian tangisi
Jangan juga bermurah pada amarah
Kala Tangan mungil yang menggegam lemah jemari
Yang dahulu hilang pergi sudah
terasa tak lagi dimiliki
kerena waktu berlari tak mengenal lelah
Tak baik disesali jangan pula merasa tak berarti
Bila benih semaian tak kunjung dapat kalian tuai
Mengertilah kita tentang menghamba mengabdi
Seperti memberi sepotong hati pada cinta yang ingin digapai
keringat air mata mendarah mendaging
Tak harus berarti mampu penuh ia kalian genggam
Sebab hasrat yang bertumpu pada nurani
Tak rela terkubur dalam buai kasih sayang
Harap jangan salah diarti
Bukan ia si buah hati telah menjadi tuli, jadi keras hati
Kala tak bergeming saat kalian panggil
Kala tak tercapai kepalanya untuk kalian belai
Mungkin teredam panggilan itu
Oleh suara menggaduh, suara merintih
Dari jalan-jalan hidup yang muram
Dari manusia –manusia yang kesakitan
Yang memanggil-manggil namanya
Untuk hadir di pentas sejarah
Untuk mengabdi menghamba
Pada sebenar-benar pemilik jiwa
Lihat ia si buah hati
Menatap penuh harap
Pada mahkota di puncak kepala
Milik kalian yang berharga
Sebuah mahkota yang bicara
“ keridoan orang tua adalah juga keridoan –Nya”
Kerelaan kalian adalah pemecah belenggu yang menahan langkahnya
Memberi nafas pada rongga juangnya yang sarat cinta
Pembela baginya dari gangguan dunia yang membisikan putus asa
Ayah bunda
Bersabarlah menuai benih semaian
Disuatu musim panen yang kekal
Senin, 24 januari 2010
Senin, 17 Januari 2011
Seberapa Pantas Kita Berucap Benar
Dahulu seorang matematikawan, seorang Muslim Amerika, pernah berkata padaku melalui sebuah buku, “Adalah lebih baik menerima sebuah kebenaran dari pada menutupinya, sekalipun kita tidak mampu memenuhi tuntutannya.” Begitu kurang lebih. Kalimat itu aku rasai lagi kekuatannya hari ini. Hari dimana ada kejadian tidak mengenakan yang merangkul banyak kejadian serupa sebelumya dan membawanya pada kesimpulan yang tidak mengenakan pula , yaitu bahwa banyak dari manusia yang ku temui , terkadang diriku sendiri ,menjadikan kesalahan dan kelemahan orang lain sebagai pembenaran atau minimal pelarian dari rasa bersalah akan perbuatan buruk yang dilakukan.
Aku, dengan jujur , termasuk orang yang tidak berkenan dengan rokok misalkan, sering terasa ada yang menahan lidah ku untuk berkata. “Hei matikan asap itu kawan, itu tidak baik dan buruk bagi orang disekitar kita,juga dirimu !”. Masalahnya mungkin menjadi jelas dengan fakta bahwa aku juga hidup dari kedzaliman macam itu, warung dirumah orang tua yang menghidupiku itu menjual berbungkus-bungkus rokok . Maka bisa ditebak ,jika itu kulakukan, orang yang kuingati akan berkata, “cih , bilang sana pada bapakmu, aku beli ini diwarungnya. Dalam hal ini aku telah menyembunyikan pernyataan bahwa merokok itu buruk lantaran tidak mampu memenuhi tuntutan pernyataan itu.
Pernahkah suatu saat,kau menegur kawan sekamarmu yang tidak membereskan cangkir kopi sisanya bergadang diruang TV, tapi ia malah berkata “halah kau sendiri juga sering ninggalin bekas makan kan ?” kau diam, sebab yang dikatakanya benar adanya, kau sering lalai. Tapi apa ini lantas menghilangkan kebenaran bahwa alangkah baiknya ruang TV kami bersih dari sisa-sisa makanan, dan kami bertanggung jawab atas itu ? Ini mengganggu pikiran kita, jadi apakah untuk berkata benar kita harus ,melulu, telah memenuhi tuntutan kebenaran itu?
Ada dua hal menjengkelkan sekaligus menyedihkan dari kejadian-kejadian diatas. Pertama bahwa, seseorang harus menahan lisannya dari berkata benar walaupun itu sangat diperlukan hanya karena pada saat itu dia belum mampu memenuhi kebenaran itu, sementara dirinya masih terus mengupayakan. Kedua , bahwa orang yang menggunakan kelemahan atau kelalaian orang lain sebagai tameng ,sesungguhnya tengah membangun penjaranya sendiri, penjara yang memisahkannya dari kesempatan untuk menjadi lebih baik, bukankah dengan begitu dia telah mengabaikan dirinya sendiri dan mengmbil sikap yang amat bergantung pada perilaku orang lain dengan abai pada benar salahnya, pada akalnya, pada hatinya sendiri ?
Orang baik bukanlah orang yang selalu bersikap benar tanpa cela, sebab bagaimana pun ia orang juga, tapi kesalahan dan kelalain tak lantas menjadikannya korup dan naïf akan pernyataan kebenaran, dia akan tetap menyiarkan misalkan, bahwa menikah adalah keharusan mekipun ia belum mampu, masih mengupayakan, dan tak perlu menikah dahulu untuk menerima dan menyiarkan kebenaran itu. Sebab di bumi ini kita tidak akan pernah menerima dakwah dari seorang malaikat dan kita tak terlalu bodoh untuk menerima kebenaran dengan menunggu datangnya orang yang teramat suci .
Hari ini, seorang matematikawan, seorang Muslim Amerika menguatkanku dengan perkataanya “Adalah lebih baik menerima sebuah kebenaran dari pada menutupinya, sekalipun kita tidak mampu memenuhi tuntutannya.” Selama kita mengupayakan memenuhinya, maka kita telah pantas menyiarkan kebenaran kapan pun dan diamanapun diperlukan. Ya, upaya.. dan siapakah yang berhak menilai upaya seseorang? Maka cukup perhatikan ini saja, bahwa kita dimintai pertanggung jawaban akan apa yang diri kita lakukan , bukan orang lain.
Setidaknya, itu semua menurutku. Mari kita bertumbuh dan berkembang memenuhi tuntutan kebenaran dengan tidak menolak pernyataan 2x2=4 hanya karena pernyataan itu keluar dari mulut bocah dengan nilau ulangan perkalian amat buruk.
Aku, dengan jujur , termasuk orang yang tidak berkenan dengan rokok misalkan, sering terasa ada yang menahan lidah ku untuk berkata. “Hei matikan asap itu kawan, itu tidak baik dan buruk bagi orang disekitar kita,juga dirimu !”. Masalahnya mungkin menjadi jelas dengan fakta bahwa aku juga hidup dari kedzaliman macam itu, warung dirumah orang tua yang menghidupiku itu menjual berbungkus-bungkus rokok . Maka bisa ditebak ,jika itu kulakukan, orang yang kuingati akan berkata, “cih , bilang sana pada bapakmu, aku beli ini diwarungnya. Dalam hal ini aku telah menyembunyikan pernyataan bahwa merokok itu buruk lantaran tidak mampu memenuhi tuntutan pernyataan itu.
Pernahkah suatu saat,kau menegur kawan sekamarmu yang tidak membereskan cangkir kopi sisanya bergadang diruang TV, tapi ia malah berkata “halah kau sendiri juga sering ninggalin bekas makan kan ?” kau diam, sebab yang dikatakanya benar adanya, kau sering lalai. Tapi apa ini lantas menghilangkan kebenaran bahwa alangkah baiknya ruang TV kami bersih dari sisa-sisa makanan, dan kami bertanggung jawab atas itu ? Ini mengganggu pikiran kita, jadi apakah untuk berkata benar kita harus ,melulu, telah memenuhi tuntutan kebenaran itu?
Ada dua hal menjengkelkan sekaligus menyedihkan dari kejadian-kejadian diatas. Pertama bahwa, seseorang harus menahan lisannya dari berkata benar walaupun itu sangat diperlukan hanya karena pada saat itu dia belum mampu memenuhi kebenaran itu, sementara dirinya masih terus mengupayakan. Kedua , bahwa orang yang menggunakan kelemahan atau kelalaian orang lain sebagai tameng ,sesungguhnya tengah membangun penjaranya sendiri, penjara yang memisahkannya dari kesempatan untuk menjadi lebih baik, bukankah dengan begitu dia telah mengabaikan dirinya sendiri dan mengmbil sikap yang amat bergantung pada perilaku orang lain dengan abai pada benar salahnya, pada akalnya, pada hatinya sendiri ?
Orang baik bukanlah orang yang selalu bersikap benar tanpa cela, sebab bagaimana pun ia orang juga, tapi kesalahan dan kelalain tak lantas menjadikannya korup dan naïf akan pernyataan kebenaran, dia akan tetap menyiarkan misalkan, bahwa menikah adalah keharusan mekipun ia belum mampu, masih mengupayakan, dan tak perlu menikah dahulu untuk menerima dan menyiarkan kebenaran itu. Sebab di bumi ini kita tidak akan pernah menerima dakwah dari seorang malaikat dan kita tak terlalu bodoh untuk menerima kebenaran dengan menunggu datangnya orang yang teramat suci .
Hari ini, seorang matematikawan, seorang Muslim Amerika menguatkanku dengan perkataanya “Adalah lebih baik menerima sebuah kebenaran dari pada menutupinya, sekalipun kita tidak mampu memenuhi tuntutannya.” Selama kita mengupayakan memenuhinya, maka kita telah pantas menyiarkan kebenaran kapan pun dan diamanapun diperlukan. Ya, upaya.. dan siapakah yang berhak menilai upaya seseorang? Maka cukup perhatikan ini saja, bahwa kita dimintai pertanggung jawaban akan apa yang diri kita lakukan , bukan orang lain.
Setidaknya, itu semua menurutku. Mari kita bertumbuh dan berkembang memenuhi tuntutan kebenaran dengan tidak menolak pernyataan 2x2=4 hanya karena pernyataan itu keluar dari mulut bocah dengan nilau ulangan perkalian amat buruk.
Langganan:
Postingan (Atom)