Tragis sekali cerita ini. Seorang terbaring kaku disalah satu sudut terminal yang gelap dan basah, seorang mahasiswa lengkap dengan almamater dan ransel, juga dengan sembilan luka tusukan. Rupanya ia telah jadi korban perampokan di malam bergerimis itu, malam ketika ia pulang setelah siang yang melelahkan, berdemonstrasi di jalanan, berteriak lantang coba robek telinga tuli yang enggan peduli, korupsi mewabah negeri. Siksaan pada si miskin sampai mati, juga ia lawan biar sampai mati.
Cerita ini menjadi lebih menyedihkan lagi manakala diketahui kemudian bahwa, rupanya si perampok adalah ayah dari seorang anak yang bersekolah disebuah sekolah negeri, ya.. negeri kawan. Namun tidak cukup murah untuk mencegah sang ayah membuang akal sehatnya, bermodal sebilah pisau dan provokasi mulut-mulut bau tengik preman-preman terminal, kawan-kawannya dalam majelis banting kartu. Sungguh tengik mereka itu mengaharap sebagaian uang jahanam untuk memasukan minuman jahanam pula kedalam perutnya. Tak mau tahu mereka dompet seorang mahasiswa itu hanyalah selembar perjalanan pulang, tak akan mereka dapat barang sebotol minumanpun darinya, dan mereka lebih tidak mau tahu lagi uang selembar itu didapat dari usaha sendiri, usaha kecil bermodal besar dan mahal, waktu belajar, sebuah kewajiban utamanya sebagi mahasiswa.
Ketika diinterogasi, sang ayah, sang perampok, menjawab dengan hati terkoyak, seakan mohon jangan disalahkan kalau hatinya itu mati. Ruangan itu pun di penuhi suasana yang sangat emosional jadinya. Namun tidak ada yang lebih emosional dari malam kejadian, ketika ia menusukan pisau dengan brutal pada tubuh kurus beralmamater itu. Sambil menusuk sambil berteriak gila, sambil menangis pula, marah juga, entah pada siapa. Mungkin pada atasannya dahulu yang mengikutsertakannya dalam suatu 'permainan' dengan hasil kecil yang harus di bayar dengan pemecatan kemudian. Sedangkan atasan selamat tetap pada posisinya yang aman, pada kursinya yang merana menahan buncit perut dan besar bokongnya. Atau mungkin juga amarahnya itu bagi sekolah sang anak yang meminta uang masuk tak terjangkau oleh keringatnya dan harga semahal itu tidak berarti apa-apa ketika fasilitas sekolah tak memadai, bahkan alat kebersihan kelas, sepidol dan tintanya harus ditanggung sendiri oleh para siswa dengan uang kas senilai Rp5000,- sebulan. hei kau pahlawan tanpa tanda jasa! tak tahu kau, siswamu si anak perampok kesekolahpun berjalan kaki, tiada ongkos padanya, maka bagaimanakah dia harus menyisakan untuk uang kas? .. dan berpa jumlah siswamu itu? sekelas 40 orang? nah, berapa 5.000 dikali 40 ? ..sebanyak itu yang diperlukan untuk tinta dan sepidol selama sebulan ? sang ayah lebih jengkel ketika masa kenaikan kelas tiba. lima ratus ribu rupiah untuk perpisahan kelas keluar kota yang berjarak hanya dua jam? ia bahkan pernah keluar pulau dengan uang yang 5 kali lebih kecil dari itu. Bukan soal bayaran semata, tapi peraturan yang dibuat sekolah, barang siapa tidak ikut akan di beri penugasan, membuat laporan perjalanan minimal ke tiga tempat wisata. "Bah.. itu juga tidak murah, lantas bagaimana kalau tidak ikuti aturan itu? " kata sang ayah jengkel. "...nanti gak dapet nilai Yah" anaknya memelas, membayangkan kerja kerasnya akan sia-sia. cih, menilai hasil belajar dengan semampu apa orang tua siswa membiayai anaknya berwisata? apa ini namanya? kalau saja aku bergelar sarjana pendidikan mungkin akan ada kosa kata yang lebih baik dari pada goblog dan tolol ! kesal ia membatin.
Pikiran-pikiran diatas timbul tenggelam seperti pisau yang dihunuskannya bagi tubuh korban, sang mahasiswa demonstran. ketika anyir darah begitu menusuk, tepat pada tusukannya yang kesembilan tersadarlah ia korban tak lagi bernyawa. Basah oleh hujan darah itu tak lekas mngental, disapunya dari tangan kemudian digeledah seluruh isi tas yang hanya berisi buku catatan yang telah basah dan sebuah Mushaf al -Quran yang sebagaian lembarnya koyak oleh basah brutal gerayang tangan sang perampok, sang ayah dari seorang anak bersekolah. Kemudian jiwanya tergoncang, pembunuhan malam itu hanya berharaga lima ribu rupiah selembar uang dari dompet kulit lusuh tua, selembar uang pengantar pulang sang mahasiswa pada keluarga tersayang
Malam itu kawan, rekan-rekan, saudara saudariku, seorang mahasiswa beralamamter tewas ditangan orang dari golongan yang justru dibelanya. dibelanya walaupun sampai mati ! Sedang orang -orang yang menyaksikan pemakamannya tak tahu harus bersyukur atau tidak , bahwa ada sebagaian dari anak-anak mereka mengabaikan begitu saja ajaran bahwa surga tak pernah ada di bumi, bahwa tanah air ini, bahkan bumi ini tidak akan pernah benar-benar bersih, maka tak usah terlalu repot membersihkannya! Anak-anak yang selalu berjuang demi kondisi tanah air yang lebih baik, hasinya memang tidak akan benar-benar,setidaknya dialam ini. Dialam sana lain lagi ceritannya, tak ada gadis yang perlahan menua dan luntur daya tariknya kemudian, yang ada adalah bidadari yang kian hari kian menambah pesonanya. jadi bagaimana?kita berharap kisah ini akan selalu jadi cerita fiksi di negeri ini, ya mungkin. kecuali bagaian akhirnya ^_^
Bekasi, 15 febuari 2010 9:23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar